Yopita Sally ....

Kamis, 26 Maret 2009

TUKANG SEPATU DAN LILIPUT

Dahulu kala, disebuah kota tinggal seorang Kakek dan Nenek pembuat sepatu. Mereka sangat baik hati. Si kakek yang membuat sepatu sedangkan nenek yang menjualnya. Uang yang didapat dari setiap sepatu yang terjual selalu dibelikan makanan yang banyak untuk dibagikan dan disantap oleh orang-orang jompo yang miskin dan anak kecil yang sudah tidak mempunyai orangtua. Karena itu walau sudah membanting tulang, uang mereka selalu habis. Karena uang mereka sudah habis, dengan kulit bahan sepatu yang tersisa, kakek membuat sepatu berwarna merah. Kakek berkata kepada nenek, “Kalau sepatu ini terjual, kita bisa membeli makanan untuk Hari Raya nanti.


Tak lama setelah itu, lewatlah seorang gadis kecil yang tak bersepatu di depan toko mereka. “Kasihan sekali gadis itu ! Ditengah cuaca dingin seperti ini tidak bersepatu”. Akhirnya mereka memberikan sepatu berwarna merah tersebut kepada gadis kecil itu.

“Apa boleh buat, Tuhan pasti akan menolong kita”, kata si kakek. Malam tiba, merekapun tertidur dengan nyenyaknya. Saat itu terjadi kejadian aneh. Dari hutan muncul kurcaci-kurcaci mengangkut kulit sepatu, membawanya ke rumah si kakek kemudian membuatnya menjadi sepasang sepatu yang sangat bagus. Ketika sudah selesai mereka kembali ke hutan.

Keesokan paginya kakek sangat terkejut melihat ada sepasang sepatu yang sangat hebat. Sepatu itu terjual dengan harga mahal. Dengan hasil penjualan sepatu itu mereka menyiapkan makanan dan banyak hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak kecil pada Hari Raya. “Ini semua rahmat dari Yang Maha Kuasa”.

Malam berikutnya, terdengar suara-suara diruang kerja kakek. Kakek dan nenek lalu mengintip, dan melihat para kurcaci yang tidak mengenakan pakaian sedang membuat sepatu. “Wow”, pekik si kakek. “Ternyata yang membuatkan sepatu untuk kita adalah para kurcaci itu”. “Mereka pasti kedinginan karena tidak mengenakan pakaian”, lanjut si nenek. “Aku akan membuatkan pakaian untuk mereka sebagai tanda terima kasih”. Kemudian nenek memotongh kain, dan membuatkan baju untuk para kurcaci itu. Sedangkan kakek tidak tinggal diam. Ia pun membuatkan sepatu-sepatu mungil untup para kurcaci. Setelah selesai mereka menjajarkan sepatu dan aju para kurcaci di ruang kerjanya. Mereka juga menata meja makan, menyiapkan makanan dan kue yang lezat di atas meja.
Saat tengah malam, para kurcaci berdatangan. Betapa terkejutnya mereka melihat begitu banyaknya makanan dan hadiah di ruang kerja kakek. “Wow, pakaian yang indah !”. Merek segera mengenakan pakaian dan sepatu yang sengaja telah disiapkan kakek dan nenek. Setelah selesai menyantap makanan, mereka menari-nari dengan riang gembira. Hari-hari berikutnya para kurcaci tidak pernah dating kembali.

Tetapi sejak saat itu, sepatu-sepatu yang dibuat Kakek selalu laris terjual. Sehingga walaupun mereka selalu memberikan makan kepada orang-orang miskin dan anak yatim piatu, uang mereka masih tersisa untuk ditabung. Setelah kejadian itu semua, Kakek dan dan nenek hidup bahagia sampai akhir hayat mereka.

perempuan topi mekong

Ayolah! Coba kau cari di mana airmata kesedihanku tersimpan! Kau tak kan pernah menemukannya. Karena aku sendiripun tak tahu dimana letak airmata kesedihanku. Kalau airmata tawa aku punya berliter-liter. Tiap malam mengucur deras dari sudut mataku sebanyak botol Lau Lao yang kutengak. Minuman alkohol kelas rakyat khas Laos itu menghangatkan tubuhku dari terpaan angin sungai Mekong. Tanktop dan rok mini tipisku serasa bagai gumpalan selimut bulu domba. Lau Lao selalu menguatkan hari-hariku di sudut kota Vientiane yang ramai ini. Satu-satunya bagian kota yang selau ramai dengan kehidupan malam. Bagian kota yang lain sudah sepi seperti pemakaman Prancis yang megah dengan nisan berpilar pualam. Minuman keras itu menjaga tawa dan kegembiraanku setiap hari. Hingga tak kukenal lagi kesedihan. Airmataku hilang tiap bulirannya melayang entah ke alam apa.

Atau aku terlahir dengan hati batu, hawa salju. Seumur hidupku tak kurasakan airmata kesedihan. Tak pernah kurasakan hangatnya tetesan mengalir hangat merambati pipiku. Berakhir di ujung dagu. Seperti apa warnanya? Berkilauankah bagai bulir permata menggelinding dari mata, atau kehitam-hitaman tercemar eyes shadow? Airmata tawaku kehitam-hitaman, sengak bau alkohol.

Sabai dee, phii huk! ( Apa kabar sayang!)” Seorang Thailand menyapaku. Sapaan itu adalah ajakan untukku. Uh! hari masih terlalu pagi untuk masuk kamar lagi. Keluasan langit malam ini baru saja kurasakan. Kebebasan udara belum lama kuhirup penuh-penuh. Paru-paruku rasanya belum setengah terisi. Aku bangun jam empat sore. Santai-santai berdandan mematut-matut wajah di potongan cermin retak. Sambil sesekali melempar pandang ke televisi yang siarannya tak kumengerti. Penyiar berwajah cantik itu berkali-kali bicara dengan bahasa tingkat tinggi, istilah sulit, bahasa orang terpelajar. Baru setengah jam aku berdiri di depan klub ini. Belum lama kulitku terkena udara. Rokokku baru setengah kuhisap, masih malas untuk kembali ke ranjang. Lagipula aku lebih senang melayani tamu bule atau negro, uangnya lebih banyak. Tamu Asia tak menyenangkan. Rewel dan banyak tuntutan.

Bor! Bor! ( Tidak! Tidak!),” tolakku. Senyum segera lenyap dari wajah Thailand. Secepat kilat berubah jadi cibiran akibat penolakanku. Cuh! Dia meludah di hadapanku. Huh! Sayang katamu? Sudah lama kata itu jadi hantu buatku. Menakutkan! Aku sering kecewa karena percaya pada kata itu. Seperti juga yang terjadi padamu Thailand! Sayangmu itu dalam semenit telah berubah jadi ludah yang jatuh ke tanah kotor.

Ibuku bilang, ia sayang aku. Tapi ia memukuliku sebagai ungkapan sayangnya. Tanpa dijelaskan dulu kenapa sayangnya diwujudkan dengan menampar pipiku, atau memukul kakiku dengan tongkat. Ayahku bilang, aku anak kesayangannya, tapi waktu Ibu menyiksaku dengan kasih sayangnya. Ayah tak membelaku tapi membelaiku dengan sumpah serapah.

Pamanku bilang, ia adalah dewa penyelamatku. Aku akan dilimpahinya dengan banyak kasih sayang. Lalu dibawanya aku ke Vat Xieng Gneun. Sebuah jalan di tepian Mekong. Sisi barat kota Vientiane. Dijualnya aku disana. Paman tak salah. ‘Sayang’ memang benar-benar melimpah ruah di tempat ini walau hanya sebatas kata-kata. Murah meriah bertebaran di mana-mana. Membuatku semakin yakin bahwa sayang yang sebenarnya tak pernah ada di muka bumi ini.

Sayang tak pernah ada bila tak ada uang. Ibu memukul karena kehabisan pangan. Ayah marah karena tak tahu cara untuk menambah penghasilan. Paman hanya memanfaatkan kesempatan melihat kemiskinan. Semua itu membuatku harus berkorban demi kasih sayang kepada keluarga. Atau demi apa aku tak paham. Apa demi adik-adikku yang berjumlah lima orang? Atau untuk Ayah yang tak mampu bertanggung jawab, karena sebagai petani kecil penghasilannya juga kecil. Mungkin hanya sekedar mengendorkan saraf Ibu, yang selalu menegang bila melihat adik-adikku berebut makanan. Bisa juga untuk menambah modal berjudi Paman. Sungguh sayang yang menyakitkan.

Chau sa bai dee bor? (Apa kabarmu baik saja)” Oley pengemudi tuk-tuk tertampan di sepanjang Vat Xieng Gneun, menanyakan kabarku hari ini.

“Dee Chai (Baik saja),” jawabku sambil mengalihkan pandang. Tatapan mata Oley selalu membuatku bergetar. Hatiku mengeligis pedih, aku sadar akan perasaan yang sedang tumbuh di hatiku. Perasaan yang ditimbulkan tatapan mata Oley

Thuppy, koi hak choi ( Thuppy, aku cinta padamu).”

“La kon Oley! ( Sampai jumpa Oley).” Aku mengusirnya. Bukan karena aku tak suka tapi karena keberadaan Oley yang begitu dekat membuatku salah tingkah, aku jadi tak bisa menjajakan senyumku dengan baik. Bisa-bisa senyumku tak laku malam ini, karena terlihat kaku. Tatapan mata Oley sering membuatku beku. Apalagi pernyataan cintanya, hatiku kaku-kaku tak bisa bergerak bila Oley berkata begitu.

Kata cinta itu telah begitu banyak meluncur dari mulut Oley. Tapi tak sedikit pun aku memberinya kesempatan untuk berkata lebih dari itu. Tak kuberikan sedikitpun kesempatan pada diriku untuk mendengar lebih dari itu. Seandainya aku bukan pelacur dan Oley bukan penjaja mariyuana yang berkedok supir tuk-tuk. Kami pasti sudah beranak dua tahun ini.

Andai aku tak terdampar di jalan kelam ini. Dan Oley masih menggarap ladang orang tuanya di Luang Prabang. Kami pasti bisa membentuk keluarga kecil yang tenang. Dengan kesederhanaan. Tanpa kemeriahan yang memabukkan seperti di jalan ini. Hanya desah sawah, derai sungai, berisik jengkerik yang memenuhi hari-hari.

Perkawinan seorang pelacur dan penjaja mariyuana tak akan berjalan lancar. Perkawinan Jay dan Kova hanya berjalan tiga bulan. Dan yang tiga bulan itu merenggut semua senyum Kova. Sekarang tanpa mariyuana Kova teronggok lemas tak berdaya. Aku tak mau itu terjadi padaku. Aku tak mau kehilangan senyumku hanya karena cinta Oley.

Aku ini perempuan yang harus selalu tersenyum. Karena tanpa senyum aku tak bisa menyambung hidupku. Aku harus selalu tersenyum karena senyum adalah bagian dari pekerjaanku. Pelanggan akan memberi uang lebih, bila aku lebih banyak memberinya senyuman. Senyumku adalah hidupku. Senyum model apapun itu. Senyum manis yang mengundang, senyum nakal dengan sedikit godaan, atau senyum puas sesaat sesudah melayani. Senyum tak boleh lepas dari bibirku.

Aku selalu tersenyum. Ketika sedang duduk menunggu pelanggan, ketika telentang di hadapan lelaki hidung belang, ketika hari teriris sepi di sudut tikungan jalan. Saat menatap Oley yang termangu di belakang kemudi tuk-tuk terbungkus asap rokok. Senyumku untuk setiap kata sayang yang terucap. Senyumku untuk setiap lembaran kip, dolar, atau bath. Mata uang negeri manapun. Senyumku yang palsu untuk setiap kata sayang yag juga palsu itu.

Bibir ini sekarang sudah jadi mesin senyum saja. Kompak dengan mataku. Kata orang mata tak bisa bebohong. Tapi mataku bekerja sama dengan bibirku adalah pembohong yang ulung. Mereka membohongi semua orang dengan senyum dan kerling. Membohongi hatiku yang selalu merasa muram.

Oley melambaikan tangan dengan wajah sendu, setiap aku digandeng lelaki untuk diajak kencan. Malam ini pun dia hanya memandang saja ketika aku sengaja lewat di depan tuk-tuknya mangkal. Sambil menyandarkan kepala pada bahu seorang negro kupandang wajahnya yang tampak pasrah. Uh! Kenapa tak kau tonjok saja negro mata keranjang ini! Bawa aku lari dengan tuk-tukmu, seperti seorang super hero yang muncul dari langit dan membawaku terbang ke angkasa.

Bukankah seharusnya ia cemburu? Bila ia memang punya cinta untukku. Cinta dan cemburu seperti sendok garpu, tak lengkap bila salah satu tak ada. Tapi tetap saja bisa digunakan walau pasangannya tak ada. Sendok bisa digunakan tanpa garpu begitu pula sebaliknya. Bisa cinta atau cemburu saja, atau tidak keduanya sekaligus. “Jadi seperti apa cintamu itu? serasa apa sayangmu itu? Oh, Oley sampai hari ini aku hanya mendengarnya terucap dari mulutmu saja. Kurasa itu perlu dibuktikan lebuh dulu. Entah dengan cara apa. Aku tak tahu Oley.”

Selembar kertas terjatuh dari tanganku, aku menemukannya terselip di bawah pintu. Tanganku bergetar tak sanggup menyangga beban yang tertulis di atasnya.

Aku tak tahan melihat senyuman di bibirmu Thuppy. Betapa aku ingin juga meikmati senyummu seperti banyak laki-laki lain. Tapi aku terlalu mencintaimu. Aku tak bisa menyikapimu seperti semua laki-laki itu. Seandainya aku elang, akan kusambar tubuhmu. Kubawa ke sarangku di puncak tebing curam yang tak terjangkau mahluk apapun. Hanya ada kau dan aku. Tapi aku dan kau seperti Laos dan Thailand. Hanya tipis terbatasi Mekong. Begitu dekat tapi tetap saja di seberang.

Maafkan aku Thuppy, Pada kenyataanya aku terlalu pengecut. selamat tiggal Thuppy.

Oley

Membaca surat Oley, ada rasa panas yang keluar dari dada. Merambat ke atas ke arah kepala. Hendak menuju mata, Tapi terhenti sampai di leher saja. Senyumku menghambatnya. Akibatnya leherku terasa tercekik.

Aku ini perempuan yang selalu terseyum. Apapun yang terjadi aku selalu tersenyum. Cobalah kau cari dimana airmata kesedihanku tersimpan. Tak mungkin ditemukan. Karena sekarang aku yakin aku tak memilikinya.

Aku tetap tersenyum. Bahkan ketika kulihat mayat Oley terapung-apung di Mekong.

Rabu, 25 Maret 2009

Madah cinta sebuah tulisan



Wahai kawan2 ku...
Dengarlah bisikan kata2 ku ini.
Tulislah wahai kawan2 ku..!
Tulislah madah cinta mu
Tulislah puisi cinta mu
Tulislah apa2 yang telintas dihati mu!
Rasakan getaran suara hati naluri mu
Biarkan ia bersuara menjerit
Biarkan seisi dunia mendengarkannya luahannya
Luahan rasa hati seorang manusia!
Wahai kawan ku...!Jangan engkau berdiam diri
Jangan engkau hanya menjenguk disana sini
Komentar sana komentar sini!
Bukankah engkau juga mempunyai rasa hati?
Sedikit naluri untuk berpuisi?
Wahai kawan ku...Percayalah bahawa ...
kita cuma insan biasa
cuba meneroka rahasia kehidupan
Sama-sama juga ada kekurangan
sama-sama ada sedikit kepahitan
Didalam merenangi lautan madah cinta ini
cuba membongkar rahasia hakikat puisi cinta!

MET MALAM CINTA

Cinta memanggilku
Segera kuberlari meghampiri
Meski harus kutempuh
jalan berbatu dan berliku
Kan kuserahklan diri
kedalam rangkulan sayap2nya
Sekalipun duri2 yg bersemayam dibalik sayapnya
akan melukaiku
Ku bisikan cinta
Mungkin cinta kan membawaku
terbang tinggi ke kumpulan bintang2
Namun dia juga akan mencabik2
Satu nafas terhembus adalah kata
Angan, debur, dan emosi tercampur
Dalam jubah terpautanTangan kita terikat...
bibir kita menyatu
Maka setiap apa yang terucap
Adalah sabda pandita ratu
Di luar itu pasirDi luar itu debu
Hanya pasir meniup saja lalu hilang
Terbang tak ada
Tapi kita tetap menari
Tarian cuma kita yang tahu
Jiwa ini adalah tanduDuduk saja

PUISI CINTA




Satu masa telah terlewati
Benci dan rindu merasuk di kalbu
Ada apa dengan cintaku
Sulit untuk aku ungkap semua
Jangan pernah bibir tertutup
Bicarakan semua yang kau rasakan
Cinta itu kita yang rasa
Bila sengsara hati kan merana
Wahai pujangga cinta
Biar membelai indah
Telaga di kalbuku
Jujurlah pada hatimu
Ada apa dengan cinta

Dentingdenting yang berbunyi
dari dinding kamarku
sadarkan diriku dari lamunan panjang
tak terasa malam kini semakin larut
ku masih terjaga
sayang kau di mana aku ingin bersama
aku butuh semua untuk tepiskan rindu
mungkinkah kau di sana merasa yang sama
seperti diriku di malam ini
rintik gerimis mengundang
kekasih di malam